Pokok-pokok masalah dikotomi ilmu dalam islam
Salah satu peretanyaan klasik yang sering muncul dan menjadi
perdebatan adalah bahwa pengetahuan
mansia itu bawaan atau bentukan (acquired)?. Pertanyaan ini memiliki rangka
bangun karakter sejenis dalam perdebatan umum dalam pencarian ilmu
pengetahuan tentang asal mula kehidupan.
Apakah kehidupan dimulai dari benda mati
(abiogenesis) atau makhluk hidup (biogenesis)?pertanyaan sejenis bipolaritas
kutub berlawanan ini pula yang menjadi ciri utama segala semesta ada.
Pada sisi lain, awal mula perdebatan dikotomi ilmu dalam
islam domulai dengan kemunculan penafsiran dalam ajaran islam bahwa Tuhan
pemilik Tuhan pemilik tunggal ilmu pengetahuan ( maha alim). Ilmu pengetahuan
yang diberikan pada manusia hanya merupakan
bagian terkecil dari dari ilmu-Nya, namun manusia diberi kebebasan untuk meraih sebanyak-banyaknya. Oleh karena
itu, sangatlah tidak pantas jika ada manusia yang bersikap sombong dalam
masalah ilmu atau memiliki kecongkaan intelektual. Keyakinan ini yang pada
pucaknya melahirkan perdebatan dikotomi ilmu dalam pemikiran islam, yaitu
pertentangan dikotomi ilmu dengan istilah kelompok ilmu ”antroposentris”
dihadapkan dengan kelompok ilmu “teosentri st ”.
Berdasarkan argumen epistemologi, ilmu pengetahuan
antroposentris dinyatakan bersumber dari manusia dengan ciri khas akal atau
rasio sedangkan ilmu pengetahuan teosentris dinyatakan bersumber dari Tuhan
dengan ciri khas “kewahyuan”. Maka terbentuklah pertentangan antara wahyu dan
akal. Lebih jauh pertentangan ini berkembanag menjadi pertentangan antara dua
jenis ilmu, yaitu agama dan filsafat. Agama yang menekankan pada pengetahuan
kewahyuan dipertentangkan dengan dipertentangkan dengan filsafat yang
menekankan pada akal manusia.
Filsafat yang tidak lain adalah akar dari ilmu pengetahuan
dikategorikan ke dalam ilmu umum. Agama meskipun kadang-kadang tidak diteruskan
atau digandengkan dengan kata islam, maka yang dimaksud adalah agama islam. Hal
ini dapat saja, khususnya di Indonesia karena ajaran agama islam dianut
mayoritas penduduk.
Kemudian agama dikelompokkan ke dalam ilmu islam. Dengan
alasan akumulasi kuantitatif wilayah, di mana filsafat Lebih banyak dipelajari
di negara-negara barat dan agama lebih banyak dipelajari di negara-negara
timur. Pertentangann ini menjadi pertentangan
dua kelompok ilmu dengan istilah “ilmu barat” dan “ilmu timur”.
Dismaping itu filsafat yang cenderung mempelajari ilmu keduniaan kemudian
di”kecam” sebagai ilmu sekuler karena tergolong ilmu yang mempelajari
benda-benda yang tidak dianggap sakral dan jauh dari muatan keagamaan.
Perdebatan ini tidak terbatas pada kajian tersebut, tetapi
meluas dan mendalam terlebih dipicu fanatisme agama. Akibatnya seringkali
perdebatan dikotomi ilmu berakibat pada pengelompokan-pengelompokan ilmu yang
terpisah-pisah dan menjalar ke berbagai aspek kehidupan. Seperti halnya
pengelompokan ilmu-ilmu yang islam dengan ilmu-ilmu yang tidak islam menjalar menjadi perdebatan akumulatif
wilayah suatu bangsa.
Dikotomi ilmu dalam studi islam terkait erat dengan pembagian
kelompok ilmu islam dalam pengertian ilmu agama yang dilawankan dengan kelompok
ilmu non islam atau ilmu umum ini. Kelompok ilmu yang termasuk ilmu-ilmu barat
atau umum atau ilmu yang tidak islam adalah filsafat, logka, dan kedokteran.
Sedangkan lawannya, yaitu ilmu-ilmu islam atau agama adalam fiqh, teologi,
sufisme, dan tafsir.
Dikotomi ilmu “barat” dan “timur” diidentikkan dengan
kecenderungan masing-masing kelompok ilmu pada objek fisik (tubuh) dan
metafisika(ruh). Barat cenderung mengutamakan objek fisik dan timur
mengutamakan objek metafisik. Meskipun anggapan ini tidak sepenuhnya benar,
namun telah menjadi ciri umum anatara barat dan timur.
Sebagian orang menganggap ilmu agama sebagai ilmu yang sakral
dan lebih tinggi kedudukannya dari pada ilmu umum tanpa penjelasan yang jelas.
Sedangkan ilmu umum diistilahkan dengan ilmu-ilmu profan, yaitu ilmu-ilmu
keduniawian yang bertitik tolak pada penelitian empiris, rasio dan logika. Ilmu
umum berkembang dan diidentikkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa
penjelasan yang jelas pula.
2. penyebab kemunculan dikotomi ilmu dalam islam
Kemunculan dikotomi ilmu islam dan ilmu umum, menurut
azumardi azra, bemula dari historical accident atau “kecelakaan sejarah”, yaitu
ketika ilmu-ilmu umum (keduniaan) yang bertitik tolak pada penelitian empiris,
rasio, dan logika mendapat serangan yang hebat dari kaum fuqoha’.
Dunia islam kemudian mengembangkan “ideologi ilmiyah” dengan
menempatkan seluruh khazanah pemikiran barat dan yunani sebagai kebatilan.
Jarang ilmuan muslim berpikir bahwa dalam beberapa hal, dikotomi ilmu mempunyai
sisi baik. Inti dari persoalan keberatan atau tidak setuju keberadaan dikotomi
ilmu semacam itu lebih banyak berkaitan denga persoalan politik.
Bagi umat islam lembaga-lembaga pendidikan umat islam pada
umumnya dijadikan “simbol” kejayaan islam. Persoalan pendidikan islam bukan
murni lagi terkait masalah sistim keilmuan, tetapi menyangkut juga ideologi
atau proses ideologisasi. Akibatnya, pemikiran pendidikan islam secara
kefilsafatan juga mengalami ideologisasi ilmiyah tersebut.
Salah satu faktor mencolok lain penyebab kemunculan dikotomi
ilmu adalah fanatsime dalam beragama. Sikap fanatisme dalam beragama dalam
kehidupan bermasyarakat melahirkan sikap eksklusifisme. Gerakan islam termasuk
dalam kategori gerakan eksklusif tersebut.
Eksklusif dalam arti kemunculan pemikiran bahwa kebenaran dan
keselamatan hanya ada pada agama semata, agama orang lain semunya dan
penganutnya tidak akan mendapatkan keselamatan. Agama orang lain samasekali
berbeda dan tidak mempunyai kesamaan sedikit pun, sehingga tidak perlu ada
dialog karena tidak akan mencapai titik temu. Mereka hanya bergaul dengan
kelompoknya dan mengisolasi diri dari yang lain, menolak untuk berdialog dan
bekerjasama dalam emecahkan permasalahan-permasalahan, dan terkadang suka
mengguanakan kekerasan dalam menyelesaikan perbedaan dengan luar agamanya.
Akibatnya, pemikiran islam tidak berkembang dan terisolasi dari perubahan dan
perkembangan kemajuan zaman. Sikap mengisolasi diri dalam sistim pemikiran
maupun kehidupan sosian ini ikut memengaruhi pula atau pun sistim keilmuan
dalam islam itu sendiri. Padahal seperti kita ketahui kecenderungan menutup
diri membuat suatu disiplin ilmu dalam hal ini sistem keilmuan islam menjadi
tidak utuh lagi, terbentuk secara parsial dan tercerai berai yang pada akhirnya
membentuk ketidak stabilan manusia anatar jasmani dan rohani.
Maka diperlukanlah suatu studi ilmu yang bersifat menyeluruh
dan integratif. Dan, filsafat adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang mampu
mengintegrasikan sistesiam keilmuan yang parsial tersebut. Oleh sebab itu,
secara normatif untuk mengigrasikan dikotomi ilmu dalam karakteristik atau ciri
khusus sesuai dengan ajaran islam diperlukan kajian kefilsafatan.
3. integrasi dikotomi ilmu
Menjawab pertanyaan klasik pengetahuan manusia itu “bawaan”
(inborn) atau “bentukan”(acquired) dapat dilakukan dengan pendekatan dasar struktur konsep konkreta,
abstrakta, dan illata.
Secara metodologis proses pembentukan ilmu pengetahuan dalam
diri manusia bertahap dari yang bersifat konkret, abstrak sampai pada ilmu
pengetahuan yang bersifat sangat abstrak(illata). Dasar pengandaian pemecahan
persoalan tersebut adalah jika yang dimaksud “bawaan” adalah pengetahuan dasar
yang telah dimilki manusia sejak pertamakali dihidupkan dengan ditandai
keberfungsian sel-sel biologis motorik dalam diri manusia, dan “bentukan”
diartikan sebagai usaha manusia untuk memenuhi rasa keingin tahuan yang pada
akhirnya memfungsikan kemampuan daya berpikir, maka secara hierarkis
pengetahuan “bawaan” adalah dasar atau tingkatan pertama bagi seseorang untuk
mencapai pengetahuan “bentukan” yang lebih luas. Pengetahuan”bawaan”
diperumpamakan sebagai pengetahuan indrawi yang dalam struktur konsep disebut
“konkreta” dan pengetahuan”bentukan” diperumpamakan sebagai pengetahuan
berpikira yang dalam struktur konsep disebut dengan” abstrakta” atau illata.
Pengetahuan”bawaan” dapat diartikan sebagai pengalaman hidup
yang telah dimilkiki seseorang atau bakat alami yang dimilkinya sebagai manusia
berpikir. Pengetahuan “bentukan” adalah hasil belajar seseorang untuk mendalami
dan memperluas bakat alami yang dimilki tersebut.
Pendidikan islam integratif. Jasa ungguh muliawan. Pustaka
pelajar. 2005. yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar