DENGAN lebih dari 100.000
anggota, Paguyuban Ngesti Tunggal, yang disingkat Pangestu, rampaknya merupakan
aliran kebatinan terbesar di Indonesia. Jumlah itu terserak di 170 cabang di
berbagai daerah, terutama Jawa, Kalimantan, dan Sumatera. Dipimpin oleh Menteri
Kehutanan Soedjarwo, perkumpulan ini tampak cepat tumbuh, bila diingat pada
1976 anggotanya cuma sekitar 66.000.
Sejumlah cendekiawan dan para
tokoh turut pula bergabung di sini. Misalnya Menteri Kehakiman Ismail Saleh.
Organisasi ini memang bergaung di kalangan elite. Tapi keliru kalau menyamakan
paguyuban ini dengan berbagai aliran kebatinan yang menjamur kini yaitu
kelompok-kelompok yang mendaki gunung atau mencari gua untuk menyepi dan
bersemadi menunggu turunnya wangsit. Malah sampai sekarang Pangestu belum
bergabung ke dalam Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK), organisasi yang
menghimpun 367 aliran kepercayaan yang ada. Sebab, seperti dikatakan Y.
Suharyatno, 46 tahun, Ketua Pangestu Yogyakarta, “Pangestu bukan agama dan
bukan kepercayaan.”
Pokok ajaran Paguyuban Ngesti
Tunggal (berarti persatuan untuk bertunggal), seperti diuraikan di dalam Serat
Sasangka Jati semacam kitab suci perkumpulan — adalah menunjukkan “jalan
benar”, yang akan berakhir pada kesejahteraan abadi di hadirat Tuhan sejati.
Selain itu, juga menunjukkan
“jalan simpangan”, yaitu jalan yang berakhir di alam makhluk yang ingkar
terhadap Tuhan. Yang menarik di antara petunjuk menuju jalan benar yang
diajarkan Serat Sesasangka Jati disebutkan suatu penegasan bahwa agama Islam
dan Kristen adalah benar-benar agama yang berasal dari Tuhan. Bahwa kitab suci
Quran dan Injil adalah Wahyu Allah yang wajib dijunjung tinggi dan ditaati
semua umatnya.
Malah ajaran di dalam serat itu
diawali dengan, “Ketahuilah para siswa Ku. . ., bahwa kedatangan-Ku ini tidak
hendak merusakkan atau mengganti peraturan Tuhan yang telah ada, yaitu yang
lain disebut agama? dan Aku juga tidak mendirikan agama baru.” Karenanya,
Pangestu tak memiliki ritus. Dan urusan-urusan ritual diserahkan kepada anggota
masing-masing.
Seperti dikatakan Suharyatno,
sebenarnya anggota perkumpulan itu masih tetap merupakan umat beragama yang
menganggap Pangestu sebagai gedung sekolah: tempat mereka mempelajari ilmu
tentang jiwa dan ketuhanan yang efeknya — seperti diyakini para pengikut akan
memperdalam pengertian tentang agama dan keimanan. “Saya sendiri setelah ikut
Pangestu baru bisa meresapi arti beribadat. Dulu kalau mendengar khotbah, asal
dengar saja, dan terkadang mengantuk. Sekarang saya baru merasakan manfaatnya,”
ujar Suharyatno, penganut Katolik itu.
Prof. Dr. Satjipto Rahardjos
Guru Besar Sosiologi Hukum di Undip Semarang, mengatakan bahwa Pangestu semacam
fakultas psikologi yang hanya mengolah kesehatan Jiwa. “Kalau HPK itu ada unsur
mistik atau kleniknya,” ujar Koordinator Pangestu Jawa Tengah II itu. Jelaslah
bahwa Pangestu bersimpang dengan aliran kepercayaan yang menghendaki ritus
sosial sendiri — perkawinan, misalnya — terpisah dari agama. Pangestu tak pula
membutuhkan sanggar atau tempat upacara ritual seperti petilasan-petilasan,
padahal belakangan ini banyak kelompok kepercayaan rajin mendirikan atau
memugar petilasan. Itu sebabnya Pangestu tak mengirimkan wakil untuk menghadiri
peringatan 1 Suro di Trowulan. “Untuk apa? Pangestu sudah jelas bukan aliran
kepercayaan, tanpa unsur mistik dan klenik. Kami ini ilmiah,” kata Satjipto.
Ajaran Pangestu pertama diterima
oleh R. Soenarto Mertowerdojo di rumahnya di Widuran, Surakarta, 14 Februari
1932, dalam bentuk suara yang terdengar oleh lubuk hati. Bisikan yang diterima
juru tulis kewedanaan itulah yang kemudian dicatat dan dihimpun menjadi Serat
Sasangka Jati, yang konon akan mengantarkan manusia menuju kesejahteraan abadi
di pangkuan “Sang Suksma Kawekas” (Tuhan). Pangestu resmi menjadi sebuah
organisasi sejak 1949, dan merupakan aliran yang pertama, yang berdiri dalam
bentuk organisasi setelah kemerdekaan.
Selain Pangestu, juga Subud —
ajaran Mendiang Pak Subuh dari Jakarta Selatan, yang banyak menarik minat orang
asing tak bergabung dalam HPK. Berbeda dengan Subud, di paguyuban Sumarah warga
negara asing malah tidak bisa diterima menjadi anggota. Namun, Sumarah menjadi
anggota HPK, bahkan ketua umumnya, Zahid Hussein, saat ini menjadi ketua HPK.
Meski Zahid Hussein sebagai ketua HPK hadir di Trowulan, Sumarah tak mengirim
wakilnya ke sana. “Sumarah bukan penghayat kepercayaan, tapi paguyuban menuju
ketenteraman lahir dan batin.
Paguyuban ini adalah wahana olah
iman,” tutur Sutono, seorang pimpinan Sumarah cabang Yogyakarta. Tuntunan
Sumarah pertama kali diterima oleh Raden Ngabehi Soekino Hartono (Pak Kino), di
Yogyakarta, pada 8 September 1935. Ajaran Sumarah menuntut agar para
pengikutnya harus selalu sujud sumarah (menyerahkan diri) kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Jiwa dan badan hendaknya selalu tunduk dan takluk kepada Tuhan, harus
eling (ingat). Sujud sumarah tercapai jika seseorang berhasil mempersatukan
angan-angan, rasa, dan budinya: kepala dan hati kosong, yang ada hanya satu,
yakni Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada ketentuan yang kaku bila seorang ingin
bersujud. Karena hanya paguyuban menuju ketenteraman lahir batin banyak anggota
Sumarah yang tetap memeluk agama masing-masing.
Sumarah, yang dalam anggaran
dasarnya secara tegas menyebut asasnya adalah Pancasila, kini beranggotakan
sekitar 10 ribu orang. Meski jumlah aliran kepercayaan (atau yang digolongkan
aliran kepercayaan) ratusan, dalam prinsip-prinsipnya tetap ditemukan
persamaan. Itu disimpulkan oleh Direktorat Pembinaar Penghayat Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Ditjen Kebudayaan, Departemen P dan K, dan
pemaparan yang dilakukan oleh 20 aliran kepercayaan pada 1985-1987. Proyek itu
bertujuan untuk mengetahui lebih iauh ajaran aliran kepercayaan yang sudah
didaftar. Untuk itu, para tokoh aliran masing-masing diminta mempresentasikan
ajarannya di suatu forum yang antara lain terdiri dari pejabat Direktorat tadi,
unsur rohaniawan dari berbagai golongan dan unsur ilmuwan dari berbagai
disiplin.
Pedoman proyek pemaparan itu
dirumuskan oleh sebuah tim yang dipimpin Profesor Soedjito Sosrodihardjo dari
UGM. Anggotanya antara lain terdapat cendekiawan Islam seperti Dr. Kuntowidjojo
dan Dr. Usman Pelly. Beberapa persamaan yang ditemukan, misalnya, organisasi
itu lahir dari rintisan peri laku seseorang yang akhirnya menjadi sesepuh
organisasi. Kemudian paguyuban tumbuh dari bimbingan sesepuh yang menerima
wangsit, bisikan, anugerah, atau tuntunan yang mereka yakini — berasal dari
Tuhan Yang Maha Esa. Sesepuh atau pinisepuh itu menciptakan sistem komunikasi
spiritual di antara para pengikut, sehingga mereka dapat bersama menghayati
penjabaran wangsit dan memetik hikmah ajaran. Pengikut yang semula merupakan
kelompok kecil akhirnya menjadi besar.
Terbentuklah organisasi
penghayat kepercayaan itu. Konsep mereka tentang Tuhan pun punya kesamaan yang
mendasar. Pada garis besarnya mengarah pada tiga unsur utama: Tuhan Yang Maha
Esa itu ada dalam kenyataan yang satu/tunggal di luar batas perkiraan, memiliki
banyak sifat yang mencakup segenap penjabaran Hidup Yang Agung, dan merupakan
sumber daya dan kuasa abadi bagi segala sumber kehidupan di alam semesta.
Memang ditemukan beraneka sebutan terhadap Tuhan. Organisasi Sangkan Paraning
Dumadi Sanggar Kencono, misalnya, menyebut Tuhan dengan Sangkaning Dumadi.
Paguyuban Pangestu dan Subud belum termasuk di antara 20 aliran yang sudah
didengar. Di antara yang sudah didengar adalah Tri Sabdo Tunggal Indonesia,
Organisasi Perjalanan, Kerokhanian Sapto Darmo, dan Paguyuban Sumarah.
Sejak diakuinya aliran
kepercayaan dalam GBHN 1973, boleh dikatakan eksistensi mereka tak diutik-utik
lagi. Memang, semula banyak yang waswas bahwa mereka akan tumbuh menjadi
“agama” baru. Namun, dengan ditegaskannya dalam GBHN 1978 bahwa aliran
kepercayaan tidak merupakan agama, dan pembinaannya tidak akan mengarah pada
pembentukan agama baru, kekhawatiran itu tampaknya menghilang. Itu tidak
berarti tidak ada lagi kecaman dan antipati terhadap aktivitas mereka —
terutama kegiatan yang dinilai “aneh” menurut akal sehat. Banyak aliran
kepercayaan yang, misalnya, merumuskan secara sederhana tingkah laku dan hubungan
antarmanusia serta hubungan antara manusia dan Tuhan. Selain itu, tampaknya
masih banyak pemimpin agama yang kurang memperhatikan hal yang menyangkut
ketenteraman batin penganutnya dan lebih menekankan soal “surga dan neraka”.
Karena itulah banyak yang memerlukan “olah batin” yang ditawarkan berbagai
aliran kepercayaan dan kebatinan sebagai pelengkap agama mereka.
Munculnya aliran kebatinan Jawa,
kata Sejarawan Taufik Abdullah, bila dilihat dari sudut historis, “Merupakan
tanggapan atas masuknya Islam ke Indonesia.” Bila ditelusuri, menurut ahli
sejarah LIPI itu, kemunculannya saat menjelang runtuhnya Kerajaan Majapahit,
kira-kira 1478. Menurut Taufik, kebatinan lahir karena adanya tradisi dialogis
pada masyarakat Jawa: untuk memperoleh keserasian, keharmonisan, antara
berbagai unsur. Di samping itu, didukung pula oleh besarnya penghayatan orang
Jawa terhadap kesinambungan budaya, yang tercermin dalam mitos-mitos yang tak
masuk akal. Misalnya kepercayaan bahwa raja-raja Mataram masih keturunan
Majapahit. bahkan masik keturunan Nabi Muhammad dan juga tokoh Pendawa dalam
wayang. Mitos itu diharapkan mampu menambah karisma dan kekeramatan mereka,
hingga tidak ada yang berani melawan. Sedang substansi ajaran kebatinan, kata
Taufik, adalah pencampuradukan Islam, Hindu, Budha, dan “entah apa lagi”.
Inilah yang dianut raja-raja Mataram seperti Sultan Agun, Amangkurat, dan
Senopati. Meski mereka disebut raja Islam, Islam mereka terbentuk melalui
tradisi kebatinan tadi.
Mitos itu bersifat fungsional,
tapi sekaligus juga bersifat disfungsional. “Artinya, mitos bisa membangkitkan
kepatuhan, tapi juga ketidakpatuhan,” ujar Taufik. Mitos tentang kebesaran
Majapahit, misalnya, boleh jadi bisa dipergunakan untuk mempersatukan suatu
kelompok yang mengagumi Majapahit. Tapi bagaimana buat orang Minangkabau dan
Pasundan yang punya pengalaman buruk dengan Majapahit? “Ingat, ‘kan peristiwa
perang Bubat antara Pasundan dan Majapahit serta penaklukan Minangkabau?”
katanya. Apakah kebatinan masih relevan dengan zaman sekarang? “Itu ‘kan
kepercayaan. Jadi, terserah yang percaya,” jawab Taufik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar